Teman Sejati
Suatu kali sepulang kerja, saya mampir ke sebuah kios yang menjual es jeruk. Sore hari itu sangat panas, jadi jelaslah minum es jeruk bakalan membuat kerongkongan segar. Ketika tengah duduk mengaso mendinginkan kepala dan pikiran, seorang ibu dengan dua orang anak, yang paling besar berumur sekitar empat tahun, dan yang satunya lagi masih kecil dalam gendongan, masuk dan duduk tepat di samping saya.
Wajah si anak yang paling besar, cemberut. Sementara di tangannya banyak sekali makanan yang bermacam-macam. Sambil memesan es jeruk, si ibu terus saja ngomong sama si anak, “Kalo Kakak tidak mau ngasih orang lain, nanti Kakak bakalan sendirian. Tidak ada temen. Kakak boleh punya banyak makanan, tapi Kakak tidak punya temen.”
Si anak, setelah diam sejenak, menjawab masih dengan wajah yang cemberut, “Ah, kemarin Nisa aja punya makanan, aku tidak dikasih.”
“Lho itu kan Nisa. Kakak kan tidak bukan Nisa. Kalo Kakak juga tidak mau berbagi, ngasih sama orang lain, apa bedanya Kakak sama Nisa? Sama dong?”
Percakapan ibu-anak itu, das!, begitu saja membuat saya lemas dan tertunduk, dan merasa terpukul berat. Entah apa hubungan dan pentingnya dengan sikap saya selama ini, tapi percakapan itu benar-benar membuat saya tiba-tiba sadar, saya sudah melakukan kesalahan besar.
Malamnya, saya tiba-tiba ingin sekali menelefon kedua sahabat saya dulu. Satu per satu saya mencoba menghubungi mereka. Sikap keduanya masih sama, tidak berubah, masih sinis dan dingin. Tapi saya tidak lagi merasa jatuh mental. Tapi saya kembali merasakan sakit hati, walau tidak terlalu. Tapi bagi saya, setelah berbulan-bulan saya berada dalam posisi yang datar tak merasakan apapun, rasa sakit begitu saya hayati.
Tengah malam, saya keluar rumah, memandangi langit hitam. Ternyata, dalam hidup kita memang akan selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Tapi manakala pilihan itu menyudutkan kita dalam keadaan yang paling meruntuhkan dan menyakitkan, tidak selayaknya kita meninggalkan hiruk-pikuk dunia. Rasa sakit itu ternyata menjadi proses pembelajaraan bagi kita untuk jadi seseorang yang lebih baik lagi.
Sekarang, saya tengah mencoba memulai untuk membangun sandaran-sandaran yang lain. Biarlah saya kehilangan dua orang yang pernah jadi sahabat itu. Tapi ternyata, masih ada beberapa orang lain yang sesungguhnya bisa jadi teman sejati kita.[rki]