Penjara Cinta
Belajar dari laki-laki paling tampan di muka bumi. Andai ketampanan adalah bumi, maka separuhnya ia miliki sendiri. Nabiyullah Yusuf alaihis salam. Kisahnya ditulis dengan penuh mukjizat dalam Al Qur’an. Dikumpulkan dalam satu surat tersendiri.
Singkat cerita, karena Yusuf tidak mau menuruti keinginan nista istri penguasa Mesir, maka akhirnya Yusuf harus merasakan getirnya penjara. Bertahun-tahun lamanya.
Tapi Yusuf tetap mulia. Karena penjara bersaksi akan kemuliaannya. Dan ia masuk ke dalamnya bukan karena kesalahan. Justru yang salah adalah yang memenjara.
Ingin tahu apa kemuliaan yang dilakukan oleh Yusuf dalam penjara? Ini kisahnya dan berikut hikmahnya tentang penjara cinta.
Dia menghibur orang yang sedih, menjenguk yang sakit, mengobati yang terluka, shalat sepanjang malam, menangis hingga dinding, atap dan pintu ikut menangis, penjara menjadi suci karenanya, para penghuni penjara merasa nyaman dengannya, jika ada seseorang yang telah keluar dari hukuman penjara, ia akan kembali untuk duduk di penjara dengan Yusuf. Penjaga penjara pun mencintainya hingga ia berikan keluasan.
Ada yang berkata: Wahai Yusuf, sungguh aku mencitaimu dengan kecintaan yang belum pernah aku miliki sebelumnya.
Yusuf menjawab: Aku berlindung kepada Allah dari cintamu.
Orang itu bertanya heran: Mengapa begitu?
Yusuf menjawab: Aku dicintai ayahku, maka saudara-saudaraku berbuat makar kepadaku. Tuan wanitaku mencintaiku, maka aku dipenjara seperti yang kau lihat. (Dari Ibnu Abbas, lihat: Tafsir Al Qurthubi)
Sungguh mulia jiwa Yusuf. Ia mulia sebelum masuk penjara. Dan tetap mulia walau dikurung dalam penjara.
Kita ingin belajar dari dialog Yusuf dengan pengagumnya yang mengaguminya karena ilmu dan kesholehannya. Rasa cinta yang begitu luar biasa. Bahkan hatinya belum pernah dirambati cinta sedahsyat cintanya pada Yusuf.
Aku berlindung kepada Allah dari cintamu…..
Kalimat Yusuf ini tentu mengejutkan muridnya yang menyatakan cintanya.
Kemudian Yusuf pun menjelaskan. Agar semua kita belajar. Kepada siapapun cinta ini kita kirimkan. Dari manapun cinta itu kita dapatkan.
Dulu Yusuf sangat dicintai ayahnya dan hal ini membuat kecemburuan pada saudara-saudara Yusuf. Dan Yusuf pun harus merana justru karena cinta sang ayah. Yang mengirimnya ke dalam penjara sumur dan selanjutnya menjadikan ia seorang budak.
Kemudian Yusuf yang tumbuh dalam istana di asuh oleh keluarga raja. Ketampanan Yusuf menjadi fitnah yang mengguncang kamar istri penguasa. Cinta tumbuh karenanya. Wanita itu menggoda Yusuf dalam jeratan cintanya. Yusuf berhasil keluar dari jaring laba-laba makar wanita. Dan cinta itu justru mengirim Yusuf harus mendekam dalam penjara bertahun-tahun lamanya.
Ya, karenanya cinta yang kita terima atau yang kita kirimkan tak boleh menjadi penjara. Karena penjara membatasi ruang gerak kita.
Kecintaan orangtua kepada anaknya tidak boleh membuat anak-anak terbang rendah serendah orangtuanya. Mereka mempunyai kehebatan yang melebihi kita. Itu harus kita yakini. Biarkan mereka terbang tinggi ‘meninggalkan’ kita.
Jangan atas nama cinta ilmu mereka menjadi kerdil. Mereka diarahkan kepada ilmu yang tidak dinikmatinya. Ilmu Islam mereka sama compang-campingnya dengan orangtuanya. Mereka tak mempunyai Al Quran, karena menghapal Al Quran di waktu kecil dianggap tidak ramah otak. Mereka dijejali dengan berbagai ilmu tapi tak satupun ilmu yang membuatnya menjadi ahli.
Jangan atas nama cinta kesehatan mereka malah terganggu. Mereka hidup ‘sangat higienis’ tak boleh lepas sandal di manapun, haram menyentuh tanah karena kotor dan bercacing, tak boleh merasakan berkahnya tetesan hujan karena dianggap hujan pembawa sial.
Jangan atas nama cinta ujungnya kita menyesal karena mereka tak kunjung sholeh. Mereka selalu dianggap kecil padahal telah baligh. Apapun kesalahan dilegalkan dengan kata: masih kecil. Padahal sekali lagi, sudah baligh. Cara berpakaian yang aneh di waktu kecil. Lagi-lagi berdalih: masih kecil. Shalat yang tak terjaga. Puasa yang tak terlatih.
Itu cinta orangtua yang memenjarakan anak-anaknya.
Kecintaan seseorang pada pasangannya, juga tak boleh memenjarakan. Sehingga tugas-tugas mulia sebelum menikah terhenti karena pernikahan. Ini sangat aneh, karena dalam Islam pernikahan itu melengkapi setengah agama. Itu seharusnya, pernikahan membuat kita hidup semakin produktif. Bukan sebaliknya.
Jangan atas nama cinta, dia tak lagi bisa menuntut ilmu. Sibuk dengan rutinitas rumah tangga yang padat.
Jangan atas nama cinta, dia kelelahan sehingga tak lagi seproduktif dulu. Sibuk mengurusi kecemburuan. Lelah dengan pertikaian. Penat dengan setumpuk masalah.
Jangan atas nama cinta, kakinya terikat sehingga tak bisa lari. Padahal banyak yang harus dikejarnya. Banyak yang harus segera diselesaikan. Bukan justru mundur beberapa langkah.
(jangan salah paham dengan kalimat ini, karena benar bahwa wanita mempunyai rumah yang memberi kemuliaannya dan bukan di luar sana)
Tapi cinta tak boleh memenjarakan. Membatasi ruang gerak. Justru dengan cinta seharusnya gerak kita semakin bergelora, bergairah dan lebih menghasilkan.
Cinta pernah bercerita kepada kita bahwa ia pernah membuatkan dua penjara bagi manusia mulia. Penjara sumur dan penjara jeruji besi.
Bukan cinta ini yang kita mau… [pn]